Minggu, 04 Oktober 2009

REVIEW & TRAILER TV MOVIE "MENCARI PELANGI"

http://www.youtube.com/watch?v=ZxEPfY1o88o
http://www.youtube.com/watch?v=ZxEPfY1o88o
Alternatif Segar di Antara yang Rombengan
Mencari Pelangi meraih Delapan penghargaan FSI, di antaranya sebagai sinetron terbaik tahun ini. Sebuah alternatif segar.
MENCARI PELANGI
Sutradara
:
Harry Dagoe Suharyadi
Skenario
:
Rayya Makarim
Ide Cerita
:
Rayya Makarim dan Shanty Harmayn
Pemain
:
Sena Utoyo, Marsha, Titiek Dj, Oppie, Djodie
Stasiun
:
Anteve
Produksi
:
PT Iguana Imaji Media
Dunia Ganang adalah sebuah dunia penuh warna. Di antara kumuhnya stasiun kereta api, sampah, dan hitamnya semir sepatu, Ganang punya keinginan untuk mencari "merah-kuning-hijau" dalam hidup, dengan caranya sendiri: mendongeng kepada pengunjung stasiun. Bersama adiknya, yang keriting, cantik, dan setia menemaninya itu, Ganang berkisah tentang "seorang perempuan yang cantik jelita mendekatiku...,dia beri aku payung warna-warni...," yang berputar-putar sendiri. Begitu asyik, begitu tenggelam Ganang dalam kisahnya sendiri, ia tak menyadari ketika pendengarnya meninggalkan dia dengan sekeping uang untuk membayar jasa menyemir sepatu. Ia putus asa. Tak seorang pun sudi mendengarkan kisah-kisahnya yang menarik. Ia merasa sepi di tengah keramaian stasiun kereta api, seperti seorang wanita yang selalu duduk di kursi panjang (diperankan Oppie Andaresta), seperti seorang sunyi yang duduk menanti entah apa. 

Itulah seringkas kisah Mencari Pelangi karya sutradara Harry Dagoe Suharyadi, yang pekan silam diumumkan sebagai sinetron terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1998. Dengan meraih Delapan penghargaan untuk kategori drama lepas--yakni antara lain untuk sutradara terbaik (Harry Dagoe Suharyadi), penulis cerita terbaik (Rayya Makarim), penata sinematografi terbaik (German), penata artistik terbaik (Henry Bogel), penyunting terbaik (Puri Chrisanty dan Ato), serta penata musik terbaik (Thoersi Argeshwara)--bertambahlah satu sutradara dalam deretan sutradara yang ikut meramaikan kelompok "New Kids on the Block" dunia sinema Indonesia (baca TEMPO edisi 1 - 7 Desember).

Harry Dagoe Suharyadi adalah alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang memiliki bakat berlapis-lapis. Selain menyutradarai film, Harry juga ikut memegang peran penting dalam film Kuldesak sebagai seorang pria homoseksual, yang dimainkan dengan amat bagus dan wajar. Sementara itu, penulis skenario Rayya Makarim, lulusan jurusan film Vassar College, New York, AS, adalah seorang pendatang baru yang langsung menyabet piala Vidia untuk kategori penulisan cerita terbaik.

Dilihat dari segi kedalaman cerita, Mencari Pelangi sebetulnya sebuah upaya yang serius dari kelompok anak-anak muda sineas ini. Proses pencarian diri Ganang, dari seorang pendongeng cilik yang sibuk dengan dirinya sendiri dan merasa terasing karena tak pernah didengarkan, adalah sebuah kisah eksistensialis yang kemudian dipaparkan dengan cara yang sederhana. Pertemuan Ganang dengan seorang pendongeng profesional yang mengajarkan Ganang untuk berkisah dengan baik agar ia memiliki pendengar, tentu saja, adalah sebuah jalan keluar yang menjadi "mudah" karena, harus diingat, ini adalah sinetron anak-anak musikal.

Upaya menjadikan sinetron ini menjadi sebuah "film musikal" sebetulnya agak dipaksakan, terutama karena pemeran Ganang bukan sosok yang tepat untuk tampil sebagai seorang Ganang yang kreatif dan lincah. Di dalam sejarah sinema, televisi, dan panggung hiburan Indonesia, mungkin baru Titik Puspa (ingat film Bawang Putih?) yang mampu membuat sebuah pertunjukan televisi musikal yang pas, wajar, mempesona, dan mengandung musik yang integratif dengan isi cerita. Teguh Karya pernah bereksperimen dengan film musikal dalam Pacar Ketinggalan Kereta, Edwad Pesta Sirait juga pernah membuat film Chicha yang bertaburan dengan lagu-lagu kaset penyanyi kecil yang namanya pernah melejit 20 tahun silam, tapi pada akhirnya musik tidak pernah terjahit secara integratif dengan isi cerita.

Mencari Pelangi tetap akan mempesona, bahkan akan lebih solid tanpa Ganang yang bernyanyi. Untuk membuat sebuah film anak-anak, tak berarti kita harus membuat semua tokoh seolah-olah seperti di dunia dongeng yang penuh nyanyi dan pelangi. Penonton anak-anak, seperti juga orang dewasa, memiliki daya seleksi yang kuat dan akan segera mengetahui sebuah pertunjukan yang dipaksakan. Dalam hal ini, unsur musikal film ini, apa boleh buat, masuk sebagai satu faktor yang tidak terlalu mulus.

Namun, sinematografi, warna-warni adegan, pengadeganan, dan kerja kamera yang dinamik--sekali lagi memperlihatkan kecenderungan baru para sutradara muda masa kini--tentu telah menutupi kekurangan itu. Mencari Pelangi menjadi sebuah alternatif yang menyegarkan di antara ratusan sinetron rombengan yang ditayangkan para stasiun televisi swasta kita sejak beberapa tahun terakhir.

Leila S. Chudori

Majalah Tempo, 21 Desember 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar