Sabtu, 10 Oktober 2009

REVIEW FILM "ARIEL & RAJA LANGIT"


Semua Umur di Bawah Mikroskop

ARIEL DAN RAJA LANGIT

Pemain: Sulton Max, Ariel Tatum, Indy Barendz, Cornelia Agatha

Sutradara: Harry Dagoe Suharyadi

Produksi: Gerilya Film Productions, 2005


KAUM kaya dan gunung sampah. Dua dunia ini jelas sangat jarang bersinggungan. Tapi, dalam film Ariel dan Raja Langit, gunung sampah raksasa di pusat pembuangan muncul dalam gambar yang tak dikemas indah dan menjadi tempat dua anak dari keluarga kaya berjuang memulihkan "nama baik" mereka. Dua anak itu harus mengaduk-aduk sampah untuk menemukan benda yang mereka cari.

Sampah adalah contoh paling gamblang dari sengkarutnya pengelolaan tata hidup negeri ini. Bahkan, boleh jadi, munculnya gunung-gunung sampah yang merusak lingkungan di sudut-sudut tak terlihat negeri ini adalah wujud dari kasus gagal negara di republik ini. Tapi jangan keliru, Ariel dan Raja Langit bukanlah film yang bicara tentang hal-hal berat, meski ia lahir dari tangan Harry Dagoe Suharyadi.

Harry adalah sineas berbakat. Film layar lebar Harry Dagoe sebelumnya, Pachinko and Everyone's Happy (2001), bisa jadi merupakan film paling jujur yang pernah dilahirkan sutradara Indonesia. Film berbahasa Jepang ini dengan cerdas berhasil muncul sebagai studi sosiologis yang tajam mengenai kesepian, ketegangan antargenerasi, dan absurdnya pencarian nilai masyarakat Jepang mutakhir.

Tapi, lewat Ariel dan Raja Langit, Harry dengan rendah hati mengaku sama sekali tak punya pretensi memainkan semiotika simbol. "Ah, gunung sampah itu muncul cuma karena tuntutan logika cerita," katanya sembari tertawa, ketika bercakap santai di kantornya. Ariel dan Raja Langit, menurut Harry, adalah film musikal-petualangan untuk semua umur, yang ia niatkan semata untuk menghibur.

Film ini memang berkisah tentang Galang dan Ariel, dua siswa SD Cahaya Hati yang selalu bersaing dalam pelajaran dan pergaulan. Mereka terpilih menjadi pemeran utama dalam operet sekolah. Tapi, satu ketika, persaingan membawa mereka pada petualangan bersama menghadapi Mata Api, penjahat korban ramuan rahasia, yang punya hobi menculik anak-anak.

Harry tentu boleh mengklaim bahwa Ariel pada akhirnya cuma film semua umur. Tapi jejak karya sebelumnya pasti membuat Ariel bakal diletakkan di bawah mikroskop. Bukankah ketika Robert Rodriguez memutuskan menggarap film anak-anak Spy Kids, semua orang menanti film macam apakah yang lahir dari tangan sutradara El Mariachi ini?

Rodriguez beruntung. Ia lulus ujian. Spy Kids tak hanya sukses di pasar, melainkan juga mampu "keluar" dari sekadar film anak-anak dan berdiri sejajar dengan film mainstream. Lewat Spy Kids yang penuh imajinasi, bersemangat, dan berhias dialog menggigit, Rodriguez meledek Indiana Jones dan film-film espionase yang kala itu tengah laris.

Tak cuma itu, Rodriguez juga melakukan penjungkirbalikan pada stereotipe Hollywood: seluruh peran hero diserahkannya pada karakter Hispanik! Ia juga mengejutkan semua orang, karena kekerasan yang muncul dalam El Mariachi dan From Dusk Till Down dalam Spy Kids sama sekali tak tampak jejaknya. Bagaimana dengan Harry Dagoe dan Ariel?

Film ini menyenangkan ditonton. Ada nuansa petualangan bak roller coaster. Ariel juga penuh lagu yang, besar kemungkinan, bakal ikut didendangkan anak-anak dengan gembira (meski sesekali terasa berpanjang-panjang). Indy Barendz sebagai Bu Sinaga mampu memancing tawa, seperti juga peran duet badung Mika dan Romi yang berkali-kali mencuri perhatian.

Gaya ekstra "jujur" Harry juga masih muncul (bukankah ajaib melihat Metromini butut muncul di tengah-tengah perumahan bak negeri dongeng?). Meski sesekali, "kejujuran" itu terasa berlebihan, terutama pada penggambaran kekerasan ("Ah, anak Indonesia terlalu banyak dielus. Saya ingin mereka sadar betapa riilnya akibat dari setiap kesalahan," kata Harry).

Toh, harus diakui, sulit sekali melacak adanya terobosan orisinal dalam Ariel. Bahkan film ini sulit membuat jarak dari serial TV anak-anak Ratu Malu dan Jendral Kancil yang juga digarap Harry (Serial ini mendapat gelar sinetron anak-anak terbaik Festival Film Bandung 2004, dan Harry memperoleh penghargaan sebagai penulis skenario terpuji pada festival yang sama).

Apa pun, Harry sedang membuat pertaruhan baru. Ariel dan Raja Langit yang menelan biaya produksi Rp 2,4 milyar ini telah dilempar ke pasar. "Setelah ini saya, ya, dagang film ini," katanya. Okelah. Tapi, setelah selesai bedagang nanti, mudah-mudahan Harry tahu, film Indonesia masih memerlukan Pachinko lain lahir dari tangannya.

Krisnadi Yullawan

Majalah Gatra, 1 Agustus 2005



"Ariel dan Raja Langit"

Senin, 01 Agustus 2005. BUDAYA

“SINAR HARAPAN”

"Ariel dan Raja Langit"

Dongeng Bijak Kanak-kanak

DARI manakah nilai-nilai kebijakan semestinya bermula? Dari masa kanak-kanak jawabnya. Demikianlah yang diyakini oleh salah seorang sutradara muda Tanah Air, Harry Dagoe Suharyadi. Lewat film drama musikal anak-anak yang penuh dengan nasihat kebijakan dan kebajikan berjudul Ariel dan Raja Langit, Harry tampaknya memang mengemban misi mulia. "Saya hanya ingin menyajikan kepada anak-anak bagaimana semestinya berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral," ujar sutradara yang film pendeknya, Happy Ending, pernah terpilih sebagai Outstanding Short Film pada The 1st International Pusan Film Festival Korea 1996. Dengan menanamkan nilai-nilai kebajikan sejak dini, Harry berharap film berdurasi 111 menit yang ber-genre drama musikal yang dipadukan dengan sedikit horor suspense ini dapat mengena sasaran. Film yang diperkuat Cornelia Agatha (Mama Ariel), Indy Barenz (Ibu Naga), Donna Harun (Mama Galang), dan Dik Doank sebaga cameo (peran selintas) ini, secara penceritaan berjalan secara hitam putih.Hal ini menjadi maklum. Digarap Sendiri. Dengan mengemban semangat kebijakan akan mengalahkan kebatilan sebagai rumusan klasik dan klise bagi dunia anak, Ariel dan Raja Langit tetap menyimpan "sesuatu". "Sesuatu itu yang saya sajikan itu tentang value (nilai) penting rasa tanggung jawab, setia kawan, tolong menolong, toleransi, serta pentingnya rajin belajar sejak dini," imbuh sutradara Pachinko and Everyone's Happy ini. Film yang keseluruhan penggarapannya mulai dari skenario, kameraman, editing, directing, hingga pembiayaannya diproduseri sendiri oleh Harry ini, menggunakan empat setting penting. "Tempat pembuangan sampah Bantar Gebang di Bekasi, Bandung, dan Pulau Kotok di Kepulauan Seribu". Ada beberapa hal yang membuat film ini menarik bagi anak-anak selain tuntunan pen-tingnya nilai-nilai kebajikan. Akting para pelakon anaknya berjalan dengan kewajaran, naturan, tanpa terlihat dibuat-buat. Sehingga dengan demikian seperti melihat anak-anak dengan dunianya: kenakalan, keiseng-an, konflik, dan kelucuannya. (Benny Benke-45)



REVIEW & Trailer FILM "DIKEJAR SETAN"














http://www.youtube.com/watch?v=8easffHtUpQ

Minggu, 04 Oktober 2009

REVIEW & TRAILER TV MOVIE "MENCARI PELANGI"

http://www.youtube.com/watch?v=ZxEPfY1o88o
http://www.youtube.com/watch?v=ZxEPfY1o88o
Alternatif Segar di Antara yang Rombengan
Mencari Pelangi meraih Delapan penghargaan FSI, di antaranya sebagai sinetron terbaik tahun ini. Sebuah alternatif segar.
MENCARI PELANGI
Sutradara
:
Harry Dagoe Suharyadi
Skenario
:
Rayya Makarim
Ide Cerita
:
Rayya Makarim dan Shanty Harmayn
Pemain
:
Sena Utoyo, Marsha, Titiek Dj, Oppie, Djodie
Stasiun
:
Anteve
Produksi
:
PT Iguana Imaji Media
Dunia Ganang adalah sebuah dunia penuh warna. Di antara kumuhnya stasiun kereta api, sampah, dan hitamnya semir sepatu, Ganang punya keinginan untuk mencari "merah-kuning-hijau" dalam hidup, dengan caranya sendiri: mendongeng kepada pengunjung stasiun. Bersama adiknya, yang keriting, cantik, dan setia menemaninya itu, Ganang berkisah tentang "seorang perempuan yang cantik jelita mendekatiku...,dia beri aku payung warna-warni...," yang berputar-putar sendiri. Begitu asyik, begitu tenggelam Ganang dalam kisahnya sendiri, ia tak menyadari ketika pendengarnya meninggalkan dia dengan sekeping uang untuk membayar jasa menyemir sepatu. Ia putus asa. Tak seorang pun sudi mendengarkan kisah-kisahnya yang menarik. Ia merasa sepi di tengah keramaian stasiun kereta api, seperti seorang wanita yang selalu duduk di kursi panjang (diperankan Oppie Andaresta), seperti seorang sunyi yang duduk menanti entah apa. 

Itulah seringkas kisah Mencari Pelangi karya sutradara Harry Dagoe Suharyadi, yang pekan silam diumumkan sebagai sinetron terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1998. Dengan meraih Delapan penghargaan untuk kategori drama lepas--yakni antara lain untuk sutradara terbaik (Harry Dagoe Suharyadi), penulis cerita terbaik (Rayya Makarim), penata sinematografi terbaik (German), penata artistik terbaik (Henry Bogel), penyunting terbaik (Puri Chrisanty dan Ato), serta penata musik terbaik (Thoersi Argeshwara)--bertambahlah satu sutradara dalam deretan sutradara yang ikut meramaikan kelompok "New Kids on the Block" dunia sinema Indonesia (baca TEMPO edisi 1 - 7 Desember).

Harry Dagoe Suharyadi adalah alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang memiliki bakat berlapis-lapis. Selain menyutradarai film, Harry juga ikut memegang peran penting dalam film Kuldesak sebagai seorang pria homoseksual, yang dimainkan dengan amat bagus dan wajar. Sementara itu, penulis skenario Rayya Makarim, lulusan jurusan film Vassar College, New York, AS, adalah seorang pendatang baru yang langsung menyabet piala Vidia untuk kategori penulisan cerita terbaik.

Dilihat dari segi kedalaman cerita, Mencari Pelangi sebetulnya sebuah upaya yang serius dari kelompok anak-anak muda sineas ini. Proses pencarian diri Ganang, dari seorang pendongeng cilik yang sibuk dengan dirinya sendiri dan merasa terasing karena tak pernah didengarkan, adalah sebuah kisah eksistensialis yang kemudian dipaparkan dengan cara yang sederhana. Pertemuan Ganang dengan seorang pendongeng profesional yang mengajarkan Ganang untuk berkisah dengan baik agar ia memiliki pendengar, tentu saja, adalah sebuah jalan keluar yang menjadi "mudah" karena, harus diingat, ini adalah sinetron anak-anak musikal.

Upaya menjadikan sinetron ini menjadi sebuah "film musikal" sebetulnya agak dipaksakan, terutama karena pemeran Ganang bukan sosok yang tepat untuk tampil sebagai seorang Ganang yang kreatif dan lincah. Di dalam sejarah sinema, televisi, dan panggung hiburan Indonesia, mungkin baru Titik Puspa (ingat film Bawang Putih?) yang mampu membuat sebuah pertunjukan televisi musikal yang pas, wajar, mempesona, dan mengandung musik yang integratif dengan isi cerita. Teguh Karya pernah bereksperimen dengan film musikal dalam Pacar Ketinggalan Kereta, Edwad Pesta Sirait juga pernah membuat film Chicha yang bertaburan dengan lagu-lagu kaset penyanyi kecil yang namanya pernah melejit 20 tahun silam, tapi pada akhirnya musik tidak pernah terjahit secara integratif dengan isi cerita.

Mencari Pelangi tetap akan mempesona, bahkan akan lebih solid tanpa Ganang yang bernyanyi. Untuk membuat sebuah film anak-anak, tak berarti kita harus membuat semua tokoh seolah-olah seperti di dunia dongeng yang penuh nyanyi dan pelangi. Penonton anak-anak, seperti juga orang dewasa, memiliki daya seleksi yang kuat dan akan segera mengetahui sebuah pertunjukan yang dipaksakan. Dalam hal ini, unsur musikal film ini, apa boleh buat, masuk sebagai satu faktor yang tidak terlalu mulus.

Namun, sinematografi, warna-warni adegan, pengadeganan, dan kerja kamera yang dinamik--sekali lagi memperlihatkan kecenderungan baru para sutradara muda masa kini--tentu telah menutupi kekurangan itu. Mencari Pelangi menjadi sebuah alternatif yang menyegarkan di antara ratusan sinetron rombengan yang ditayangkan para stasiun televisi swasta kita sejak beberapa tahun terakhir.

Leila S. Chudori

Majalah Tempo, 21 Desember 1998